Rabu, 03 Juni 2015

Rindu.

Tuhan saya rindu diri saya yang riang nonton gigs, bercengkrama dengan alam bebas, membaca novel dari pengarang hebat, menulis sastra. Satu-satu semua hal yang biasa saya lakukan hilang. Saya sudah tidak pernah nonton gigs. Jarang mengunjungi alam. Novel saya mulai berdebu tidak pernah dibuka. Tulisan saya mulai hilang arah.

Dulu pernah saya bermimpi menjadi seorang penulis, saya menginginkan salah satu buku terbitan saya ada di salah satu rak toko buku yang biasa saya kunjungi. Pernah juga bermimpi menjadi crew sebuah konser musik dimana saya bisa berdansa sekaligus bekerja. Pergi kemana mimpi itu?

Kenyataannya pagi ini saya harus ada di angkutan umum yang riuh dengan bunyi klakson. Lalu lintas yang ramai kendaraan lengkap dengan polusinya. Saya menuju tempat menghabiskan 8 jam waktu tanpa kesenangan. Tulang punggung saya perlahan sakit akibat terlalu lama duduk. Penglihatan saya lambat laun kabur dengan minus yang kian bertambah akibat kotak kecanggihan teknologi yang disebut komputer.  Dan pekerjaan yang membuat seolah saya menjadi budak harta. Ya, saya menuju salah satu perusahaan ban nasional tersohor negeri.

Ya saya mengeluh, saya lelah. Rindu terhadap semua mimpi yang dulu saya junjung tanpa pamrih.

Lalu, apakah ini yang disebut tidak  bersyukur?